Pada saat pemerintahan Khalid Al Walid dari Bani Ummaiyah, bahkan pusat Dunia Islam sudah tidak lagi berada di Makkah atau Madinah akan tetapi sudah berpindah ke Damaskus di Syiria, pengaruh agama Islam telah terbentang ke Barat sampai di Spanyol dan ke Timur sampai di India. Pada zaman ini ajaran Islam sudah mulai tercampur dengan khurafat dan bid’ah, namun justru ajaran ini mudah diterima oleh bangsa India yang sebelumnya telah memeluk agama Hindu. Kemudian para saudagar Gujarat dan Persia dari India Selatan ini mulai menyebarluaskan agama ini ke Asia Tenggara sampai ke Asia Timur. Masuknya Islam ke tanah air di awali dari Aceh, maka dari itu di daerah yang sering disebut dengan ’serambi mekkah’ ini memiliki kebudayaan yang sangat kental dengan ajaran agama Islam. Misalnya di Aceh anjuran mengenakan busana Muslim, baik di lingkungan kerja maupun pada masyarakat luas. Sedangkan di Jawa sendiri Islam diperkenalkan dan disebarluaskan oleh para mubaligh atau disebut dengan para wali. Karena orang Jawa telah mempertahankan sebuah tradisi non-Islam karena kejatuhan Majapahit Hindu-Budha pada tahun 1525 dan memiliki kepercayaan dan agama seperti Animisme, Dynamisme, agama Budha dan agama Hindu, penduduk awalnya tidak begitu merespon dengan ajaran-ajaran tersebut. Akhirnya para wali berinisiatif untuk menggunakan kebudayaan Jawa sebagai alat untuk memperkenalkan Islam, seperti dengan lagu, wayang, tembang mochopat, dan menggabungkan kebudayaan Kejawen dengan Islam, misalnya pada hari-hari Islam yang diperingati dengan perayaan seperti kebudayaan Jawa, dan masih sering dilakukan hingga saat ini.
Ini semua membuktikan bahwa Islam yang ada di Indonesia sangat berbeda dengan Islam murni yang berasal di Arab, jadi tidak dapat dikatakan Arabisasi. Kebanyakan penduduk Indonesia yang berada di Jawa menganut agama Islam kejawen atau abangan, yang mana mereka masih percaya pada roh-roh alam dan melakukan tradisi kepercayaannya namun dengan mencampurkan do’a-do’a atau ajaran Islam pada kegiatan-kegiatannya. Selain itu dalam Islam terdapat ritual ibadah haji ke Arab Saudi yang membuat penganut Islam di Indonesia ke sana juga (yang melakukan ibadah haji, umroh dan juga berguru ilmu Islam). Dengan sejarah seperti itu maka tidak heran ada kebudayaan Arab yang diterapkan di Indonesia. Islamisasi itu perlu dibumikan, karena selama ini yang terjadi adalah arabisasi[1]। Kenyataan ini telah menjadi pemandangan umum di Indonesia, berupa pengaraban masyarakat।, misalnya melengkapi berbagai infrastruktur (fasilitas publik) dengan tulisan-tulisan (huruf) Arab seperti di Kabupaten Bulukumba (Sulsel).
Demikian pula penggunaan simbol-simbol Islam yang cenderung ke arah pengaraban (arabisasi), apakah telah memiliki daya gugah yang efektif terhadap pelaksanaan Syariat Islam. Kondisi ironis ini sepantasnya disikapi secara bijak dalam wujud penyelamatan Syariat Islam. Dalam pengertian bahwa rentannya peluang "bersetubuhnya" kepentingan politik dengan urusan agama, maka sudah saatnya urusan Syariat Islam itu diserahkan pada insan akademik (pemuka agama netral politik). Hal ini penting, mengingat sejauh ini bukannya Islamisasi yang digulirkan, tetapi justru Arabisasi sehingga keberhasilan yang ditampakkan hanya dari aspek simbolis semata[2]
Ajaran Islam, begitu juga ajaran dari semua agama, pasti mengajarkan kebaikan. Jika ajaran-ajaran ini diterapkan dengan murni dan niat yang tulus maka, kehidupan akan lebih baik, bahkan pada kehidupan berbegara. Misalnya dengan ajaran untuk berzakat, berinfaq, dan bersodaqoh, maka akan dapat memeratakan pembangunan, kemiskinan mungkin akan dapat diatasi. Namun yang terjadi saat ini adalah penyelewengan ajaran agama dari umatnya. Mereka terkadang menyalahartikan atau bahkan menyelewengkan ajaran yang ada. Seperti yang terjadi akhir-akhir ini munculnya agama-agama ’sesat’ yang ajarannya merupakan campuran agama yang ada dengan pemikirannya sendiriadanya penyalahartian ajaran agama, seperti yang diajarkan dalam kitab suci Al-Qur’an, yaitu supaya orang Islam itu berserah diri (pasrah) pada Allah SWT dan percaya bahwa nasib manusia sudah ditentukan dengan adanya takdir (Qodar)। Namun ajaran ini diartikan bahwa manusia harus pasrah kepada Allah SWT saja, mereka tidak mau berusaha karena berpikiran bahwa takdirnya sudah ditentukan. Dan kini akhirnya kebanyakan bangsa Indonesia bersifat fatalistik, tidak mau berusaha keras atau nrimo. Padahal Allah SWT mengajarkan manusia untuk berdoa, tapi juga berusaha (ikhtiar) terlebih dahulu karena ada takdir yang bisa dirubah (Qada). Namun ketika kita sudah mendapatkan hasilnya, walaupun baik atau buruk kita tidak boleh menyesal, karena itu sudah takdirBegitujugaajaran Nabi Muhammad SAW untuk berjihad, pada zaman dahulu jihad diartikan sebagai perang fiisabillillah. Namun kini jihad adalah membela agama Allah yaitu Islam, ketika Islam terdesak, diselewengkan, atau difitnah, seperti yang akhir-akhir ini terjadi yaitu tersebarnya film ’Fitna’ yang diproduksi oleh anggota parlemen Belanda, sehingga Islam diidentikkan dengan terorisme. Ukuran jihad yang diajarkan agama Islam pun ada tiga urut-urutan, yaitu dengan tangan (memerangi, dengan kekuasaan, tulisan), dengan lisan (berbicara dengan baik-baik), dan yang terakhir dengan hati (tidak setuju dalam hati saja). Karena Indonesia adalah negara hukum, maka kini tidak dibenarkan bila kita berperang atau main hakim sendiri, seperti yang dilakukan FPI dalam pengrusakan-pengrusakannya dan mengatas namakan jihad, juga tindak-tindak terorisme. Maka apa salahnya jika kita patuh hukum yang ada dan melakukan pembelaan dengan tulisan atau lisan saja.
Penyelewengan-penyelewengan ajaran Islam ini harus ditanggulangi sebelum ajaran-ajaran agama Islam semakin tercampuri, sehingga menimbulkan pandangan yang salah dari masyarakat luar pada ajaran dan agama Islam sendiri.
[1] http://www.wanita-muslimah.com/
[2] http://www.ppi-india.org/
DAFTAR PUSTAKA
Hefner, Robert W. 2000. Islam Pasar Keadilan: Artikulasi Lokal, Kapitalisme, dan Demokrasi. Yogyakarta: Lkis.
Wiryoprawiro, Zein M. 1986. Perkembangan Arsitektur Masjid di Jawa Timur. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Ini semua membuktikan bahwa Islam yang ada di Indonesia sangat berbeda dengan Islam murni yang berasal di Arab, jadi tidak dapat dikatakan Arabisasi. Kebanyakan penduduk Indonesia yang berada di Jawa menganut agama Islam kejawen atau abangan, yang mana mereka masih percaya pada roh-roh alam dan melakukan tradisi kepercayaannya namun dengan mencampurkan do’a-do’a atau ajaran Islam pada kegiatan-kegiatannya. Selain itu dalam Islam terdapat ritual ibadah haji ke Arab Saudi yang membuat penganut Islam di Indonesia ke sana juga (yang melakukan ibadah haji, umroh dan juga berguru ilmu Islam). Dengan sejarah seperti itu maka tidak heran ada kebudayaan Arab yang diterapkan di Indonesia. Islamisasi itu perlu dibumikan, karena selama ini yang terjadi adalah arabisasi[1]। Kenyataan ini telah menjadi pemandangan umum di Indonesia, berupa pengaraban masyarakat।, misalnya melengkapi berbagai infrastruktur (fasilitas publik) dengan tulisan-tulisan (huruf) Arab seperti di Kabupaten Bulukumba (Sulsel).
Demikian pula penggunaan simbol-simbol Islam yang cenderung ke arah pengaraban (arabisasi), apakah telah memiliki daya gugah yang efektif terhadap pelaksanaan Syariat Islam. Kondisi ironis ini sepantasnya disikapi secara bijak dalam wujud penyelamatan Syariat Islam. Dalam pengertian bahwa rentannya peluang "bersetubuhnya" kepentingan politik dengan urusan agama, maka sudah saatnya urusan Syariat Islam itu diserahkan pada insan akademik (pemuka agama netral politik). Hal ini penting, mengingat sejauh ini bukannya Islamisasi yang digulirkan, tetapi justru Arabisasi sehingga keberhasilan yang ditampakkan hanya dari aspek simbolis semata[2]
Ajaran Islam, begitu juga ajaran dari semua agama, pasti mengajarkan kebaikan. Jika ajaran-ajaran ini diterapkan dengan murni dan niat yang tulus maka, kehidupan akan lebih baik, bahkan pada kehidupan berbegara. Misalnya dengan ajaran untuk berzakat, berinfaq, dan bersodaqoh, maka akan dapat memeratakan pembangunan, kemiskinan mungkin akan dapat diatasi. Namun yang terjadi saat ini adalah penyelewengan ajaran agama dari umatnya. Mereka terkadang menyalahartikan atau bahkan menyelewengkan ajaran yang ada. Seperti yang terjadi akhir-akhir ini munculnya agama-agama ’sesat’ yang ajarannya merupakan campuran agama yang ada dengan pemikirannya sendiriadanya penyalahartian ajaran agama, seperti yang diajarkan dalam kitab suci Al-Qur’an, yaitu supaya orang Islam itu berserah diri (pasrah) pada Allah SWT dan percaya bahwa nasib manusia sudah ditentukan dengan adanya takdir (Qodar)। Namun ajaran ini diartikan bahwa manusia harus pasrah kepada Allah SWT saja, mereka tidak mau berusaha karena berpikiran bahwa takdirnya sudah ditentukan. Dan kini akhirnya kebanyakan bangsa Indonesia bersifat fatalistik, tidak mau berusaha keras atau nrimo. Padahal Allah SWT mengajarkan manusia untuk berdoa, tapi juga berusaha (ikhtiar) terlebih dahulu karena ada takdir yang bisa dirubah (Qada). Namun ketika kita sudah mendapatkan hasilnya, walaupun baik atau buruk kita tidak boleh menyesal, karena itu sudah takdirBegitujugaajaran Nabi Muhammad SAW untuk berjihad, pada zaman dahulu jihad diartikan sebagai perang fiisabillillah. Namun kini jihad adalah membela agama Allah yaitu Islam, ketika Islam terdesak, diselewengkan, atau difitnah, seperti yang akhir-akhir ini terjadi yaitu tersebarnya film ’Fitna’ yang diproduksi oleh anggota parlemen Belanda, sehingga Islam diidentikkan dengan terorisme. Ukuran jihad yang diajarkan agama Islam pun ada tiga urut-urutan, yaitu dengan tangan (memerangi, dengan kekuasaan, tulisan), dengan lisan (berbicara dengan baik-baik), dan yang terakhir dengan hati (tidak setuju dalam hati saja). Karena Indonesia adalah negara hukum, maka kini tidak dibenarkan bila kita berperang atau main hakim sendiri, seperti yang dilakukan FPI dalam pengrusakan-pengrusakannya dan mengatas namakan jihad, juga tindak-tindak terorisme. Maka apa salahnya jika kita patuh hukum yang ada dan melakukan pembelaan dengan tulisan atau lisan saja.
Penyelewengan-penyelewengan ajaran Islam ini harus ditanggulangi sebelum ajaran-ajaran agama Islam semakin tercampuri, sehingga menimbulkan pandangan yang salah dari masyarakat luar pada ajaran dan agama Islam sendiri.
[1] http://www.wanita-muslimah.com/
[2] http://www.ppi-india.org/
DAFTAR PUSTAKA
Hefner, Robert W. 2000. Islam Pasar Keadilan: Artikulasi Lokal, Kapitalisme, dan Demokrasi. Yogyakarta: Lkis.
Wiryoprawiro, Zein M. 1986. Perkembangan Arsitektur Masjid di Jawa Timur. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar