Ide-ide utama yang dipandang paling berpengaruh dalam cultural studies, antara lain, Marxisme, kulturalisme, strukturalisme, pascakulturalisme, psikoanalisis dan politik perbedaan yang akan diuraikan di bawah ini.Kapitalisme adalah suatu sistem dinamis di mana mekanisme yang selalu didorong oleh laba mengharuskan adanya perombakan dan penemuan terus-menerus atas sarana produksi dan pembentukan pasar baru. Cultural studies telah ikut ambil bagian dalam gerakan perubahan. Dalam hubungan dengan cultural studies Marxisme dikritik karena teleologinya, pandangan tentang keniscayaan tujuan gerak sejarah, antara lain keruntuhan kapitalisme dan kehadiran masyarakat tanpa kelas. Marxisme menyatakan bahwa terdapat berbagai keteraturan atau struktur bagi eksistensi manusia yang berada di luar diri individu. Cultural studies memfokuskan perhatian pada isu-isu tentang praksis, determinisme ekonomi, ideologi dan berusaha mengeksplorasi karakteristik struktur-struktur tersebut. Disisi lain, Marxisme dan cultural studies memiliki komitmen untuk melakukan perubahan lewat perantara manusia yang dicapai melalui kombinasi teori dan aksi (praksis). Cultural studies menolak determinisme ekonomi yang terdapat dalam beberapa pemikiran Marxisme dan menegaskan spesifisitas kebudayaan, dan memberi perhatian pada keberhasilan nyata kapitalisme karena bisa bertahan juga karena transformasi dan ekspansinya sebagian dikarenakan tercapainya konsensus pada level kebudayaan.
Dalam sejarah bersama cultural studies, Richard Hoggart (1957), Raymond Williams (1965, 1979, 1981, 1983) dan Edward Thompson (1963) dipandang sebagai tokoh utama yang mewakili momen kulturalisme, yang dilawankan dengan strukturalisme. Kulturalisme memfokuskan perhatiannya pada produksi tanda oleh aktor manusia dalam suatu konteks historis, sedangkan strukturalisme memandang kebudayaan sebagai struktur dalam bahasa yang ada di luar kehendak aktor dan menguasai mereka. Sementara kulturalisme menekankan pada sejarah, pendekatan strukturalisme lebih bersifat sinkronis, menganalisis struktur relasi dalam satu kilatan momen tertentu. Strukturalisme juga menegaskan sifat khas kebudayaan dan kemustahilan untuk mereduksinya pada bentuk fenomena apa pun, ia tidak menganut pemahaman bahwa kebudayaan ditentukan oleh kondisi material produksi. Sementara kulturalisme memfokuskan perhatiannya pada interpretasi sebagai cara memahami makna, strukturalisme menegaskan kemungkinan adanya ilmu tanda dan adanya pengetahuan objektif.
Pascastrukturalisme menolak ide tentang struktur stabil yang melandasi makna melalui pasangan biner tetap, makna adalah sesuatu yang tidak stabil, yang selalu tergelincir dalam prosesnya. Makna adalah hasil hubungan antarteks (intertekstualitas). Pengaruh pascakulturalisme dalam cultural studies adalah antiesensialisme yang berbicara tentang kebenaran atau identitas sebagai hal yang tidak bersifat universal namun sebagai produksi kebudayaan dalam konteks ruang dan waktu tertentu. Kebenaran dipahami sebagai sesuatu yang dibikin, sedangkan identitas merupakan hasil konstruksi diskursif. Sedangkan pascamodernisme memahami bahwa pengetahuan bersifat spesifik dalam permainan bahasa, meyakini adanya keragaman, pluralitas dan lokalitas pengetahuan. Pascastrukturalisme dan pascamodernisme adalah pendekatan antiesensialis yang menekankan peran konstitutif bahasa yang tidak stabil, keduanya memiliki pendekatan yang sama terhadap epistemologi, yaitu penolakan atas kebenaran sebagai objek abadi yang tetap. Mereka menyatakan bahwa subjektivitas merupakan efek bahasa atau diskursus dan bahwa subjek mengalami perpecahan.
Untuk menemukan cara memikirkan pembentukan subjek ’internal’ maka perlu menelaah psikoanalisis. Psikoanalisis menunjukkan bagaimana proses psikis melembagakan ’pemanusiaan’ anak, membentuk subjek yang selalu tergenderkan dalam ranah simbolis bahasa dan kebudayaan. Psikoanalisis berkonsentrasi pada konstruksi dan pembentukan subjektivitas, menolak hakikat subjek dan seksualitas yang bersifat tetap. Karena psikoanalisis adalah suatu penjelasan universal ahistoris subjektivitas yang menandai proses psikis manusia sepanjang sejarah, dan sesuatu yang bersifat patriarkis dan phallosentris, dia terbukti tak dapat diterima dalam cultural studies. Namun, psikoanalisis dapat diolah ulang sebagai suatu penjelasan pembentukan subjek yang bergantung pada proses historis, jadi dia dapat menjadi sesuatu yang mendeskripsikan proses pembentukan subjek hanya berdasarkan atas konteks historis tertentu. Psikoanalisis dipandang dapat dilepaskan dari phallosentrisme-nya dan disesuaikan dengan proyek politis feminisme.
Feminisme berpendapat bahwa seks bersifat fundamental dan tidak dapat direduksi menjadi poros organisasi sosial, perhatiannya pada seks sebagai prinsip pengatur kehidupan sosial di mana relasi gender sepenuhnya dipengaruhi oleh relasi kekuasaan. Kekuasaan laki-laki dan subordinasi perempuan berifat struktural, ini mendorong para feminis untuk mengadopsi konsep patriarki. Kritik terhadap konsep patriarki terletak pada penjelasan tentang semua perempuan dipandang memiliki kesamaan mendasar yang bertentangan dengan semua laki-laki. Feminis pascastrukturalis dan pasca modern menyatakan bahwa seks dan gender adalah konstruksi sosial dan kultural yang tidak dapat dijelaskan secara biologis maupun direduksi menjadi fungsi kapitalisme. Inilah pendirian antiesensialis yang berpendapat bahwa feminitas dan maskulinitas bukanlah kategori universal-esensial melainkan konstruksi diskursif.
’Politik perbedaan’ lain yang semakin banyak mendapatkan perhatian dalam cultural studies adalah ras dan etnisitas pada masa pascakolonial. Etnisitas adalah konsep kultural yang terpusat pada norma, nilai, kepercayaan, simbol kultural dan praktik yang menandai proses pembentukan batas kultural. Rasialisasi mengemukakan argumen bahwa ras merupakan konstruksi sosial dan bukan kategori universal atau esensial dalam biologi maupun kebudayaan, ras dibentuk di dalam dan olehnya dalam suatu proses pergumulan kekuasaan sosial dan politis. Dua perhatian utama yang muncul di dalam dan melalui teori pascakolonial (Williams dan Chrisman, 1993), yaitu dominasi-subordinasi (pertanyaan yang dikemukakan melalui kontrol militer kolonial dan subordinasi terstruktur terhadap kelompok rasial); dan hibriditas-kreolisasi (mengacu pada fakta bahwa kebudayaan dan bahasa penjajah atau bangsa terjajah tak dapat disajikan secara ’murni’, mereka memunculkan bentuk-bentuk hibriditas).
Cultural studies tidak membahas pada persoalan-persoalan metode dan metodologi penelitian. Di sini dibahas pendekatan filosofis yang melandasi cultural studies, yaitu metodologi, sebagai pokok bahasan yang sepenuhnya berbeda.
Terdapat perdebatan seputar epistemologi, yaitu pertanyaan tentang status pengetahuan dan kebenaran. Pemahaman pengetahuan ’pascamodern’ mendominasi cultural studies namun masih dipertanyakan, basis yang lebih pasti bagi pengetahuan diperlukan untuk kelangsungan proyek politis cultural studies. Sedangkan pada metode yang digunakan, cultural studies lebih memilih metode kualitatif dengan fokus makna kultural. Karya-karya dalam cultural studies terpusat pada tiga macam pendekatan: etnografi; beberapa macam pendekatan tekstual; dan beberapa studi resepsi (reception studies), yang akar teoretisnya bersifat ekletis.
Cultural studies etnografis terpusat pada eksplorasi kualitatif atas nilai dan makna dalam konteks ’cara hidup secara keseluruhan’, yaitu dengan masalah-masalah kebudayaan, dunia-kehidupan dan identitas, etnografi sering kali dikaitkan dengan pendekatan kulturalis dan lebih menekankan ’pengalaman nyata’. Dalam cultural studies ada tiga cara analisis yang cukup terkemuka (tekstual), yaitu semiotika, teori narasi dan dekonstruksi. Semiotika mengeksplorasi bagaimana makna yang terbentuk oleh teks diperoleh melalui penataan tanda dengan cara tertentu dan melalui penggunaan kode-kode kultural. Narasi merupakan bentuk terstruktur di mana kisah membuat penjelasan tentang bagaimana dunia ini. Narasi sebagai rekaman peristiwa, menawarkan kerangka pemahaman dan aturan acuan tentang bagaimana tatanan sosial dikonstruksi. Genre menstrukturkan proses narasi dan mengisinya; mengaturnya dengan menggunakan elemen-elemen dan kombinasi spesifik elemen tersebut untuk menghasilkan koherensi dan kredibilitas. Genre merepresentasikan sistematisasi dan pengulangan masalah dan penyelesaiannya dalam narasi (Neale, 1980). Dekonstruksionisme dihubungkan dengan ’penghapusan’ yang dilakukan Derrida terhadap oposisi biner. Mendekonstruksi berarti menelanjangi, menghapus teks dalam rangka menemukan dan menampilkan asumsi teks tersebut. Dekonstruksi melibatkan pengungkapan oposisi konseptual hierarkis yang menjamin kebenaran dengan menyingkirkan dan mendevaluasi bagian ’inferior dari oposisi biner tersebut. Derrida mengajukan konsep under erasure untuk mendestabilisasikan hal-hal yang sudah mapan, untuk menandainya sebagai hal yang berguna, perlu, tidak tepat sekaligus keliru. Derrida berusaha memperlihatkan ketidakmenentuan makna.
Para perintis studi resepsi menyatakan bahwa apa pun yang dilakukan analisis makna tekstual sebagai sebagai kritik masih jauh dari kepastian tentang makna yang teridentifikasi yang akan diaktifkan oleh pembaca/ audien/ konsumen. Karena audien merupakan pencipta aktif makna dalam kaitannya dengan teks. Karya-karya dalam tradisi hermeneutika dan studi resepsi literer menyatakan bahwa pemahaman selalu berasal dari posisi dan sudut pandang orang yang paham, yang tidak hanya melibatkan reproduksi makna tekstual namun juga produksi makna oleh pembacanya. Teori menempati posisi tinggi dalam cultural studies. Teori dapat dipahami sebagai narasi yang berusaha membedakan dan menjelaskan ciri-ciri umum yang mendefinisikan dan menjelaskan terus-menerus kejadian yang dipersepsikan.
Pascastrukturalisme menolak ide tentang struktur stabil yang melandasi makna melalui pasangan biner tetap, makna adalah sesuatu yang tidak stabil, yang selalu tergelincir dalam prosesnya. Makna adalah hasil hubungan antarteks (intertekstualitas). Pengaruh pascakulturalisme dalam cultural studies adalah antiesensialisme yang berbicara tentang kebenaran atau identitas sebagai hal yang tidak bersifat universal namun sebagai produksi kebudayaan dalam konteks ruang dan waktu tertentu. Kebenaran dipahami sebagai sesuatu yang dibikin, sedangkan identitas merupakan hasil konstruksi diskursif. Sedangkan pascamodernisme memahami bahwa pengetahuan bersifat spesifik dalam permainan bahasa, meyakini adanya keragaman, pluralitas dan lokalitas pengetahuan. Pascastrukturalisme dan pascamodernisme adalah pendekatan antiesensialis yang menekankan peran konstitutif bahasa yang tidak stabil, keduanya memiliki pendekatan yang sama terhadap epistemologi, yaitu penolakan atas kebenaran sebagai objek abadi yang tetap. Mereka menyatakan bahwa subjektivitas merupakan efek bahasa atau diskursus dan bahwa subjek mengalami perpecahan.
Untuk menemukan cara memikirkan pembentukan subjek ’internal’ maka perlu menelaah psikoanalisis. Psikoanalisis menunjukkan bagaimana proses psikis melembagakan ’pemanusiaan’ anak, membentuk subjek yang selalu tergenderkan dalam ranah simbolis bahasa dan kebudayaan. Psikoanalisis berkonsentrasi pada konstruksi dan pembentukan subjektivitas, menolak hakikat subjek dan seksualitas yang bersifat tetap. Karena psikoanalisis adalah suatu penjelasan universal ahistoris subjektivitas yang menandai proses psikis manusia sepanjang sejarah, dan sesuatu yang bersifat patriarkis dan phallosentris, dia terbukti tak dapat diterima dalam cultural studies. Namun, psikoanalisis dapat diolah ulang sebagai suatu penjelasan pembentukan subjek yang bergantung pada proses historis, jadi dia dapat menjadi sesuatu yang mendeskripsikan proses pembentukan subjek hanya berdasarkan atas konteks historis tertentu. Psikoanalisis dipandang dapat dilepaskan dari phallosentrisme-nya dan disesuaikan dengan proyek politis feminisme.
Feminisme berpendapat bahwa seks bersifat fundamental dan tidak dapat direduksi menjadi poros organisasi sosial, perhatiannya pada seks sebagai prinsip pengatur kehidupan sosial di mana relasi gender sepenuhnya dipengaruhi oleh relasi kekuasaan. Kekuasaan laki-laki dan subordinasi perempuan berifat struktural, ini mendorong para feminis untuk mengadopsi konsep patriarki. Kritik terhadap konsep patriarki terletak pada penjelasan tentang semua perempuan dipandang memiliki kesamaan mendasar yang bertentangan dengan semua laki-laki. Feminis pascastrukturalis dan pasca modern menyatakan bahwa seks dan gender adalah konstruksi sosial dan kultural yang tidak dapat dijelaskan secara biologis maupun direduksi menjadi fungsi kapitalisme. Inilah pendirian antiesensialis yang berpendapat bahwa feminitas dan maskulinitas bukanlah kategori universal-esensial melainkan konstruksi diskursif.
’Politik perbedaan’ lain yang semakin banyak mendapatkan perhatian dalam cultural studies adalah ras dan etnisitas pada masa pascakolonial. Etnisitas adalah konsep kultural yang terpusat pada norma, nilai, kepercayaan, simbol kultural dan praktik yang menandai proses pembentukan batas kultural. Rasialisasi mengemukakan argumen bahwa ras merupakan konstruksi sosial dan bukan kategori universal atau esensial dalam biologi maupun kebudayaan, ras dibentuk di dalam dan olehnya dalam suatu proses pergumulan kekuasaan sosial dan politis. Dua perhatian utama yang muncul di dalam dan melalui teori pascakolonial (Williams dan Chrisman, 1993), yaitu dominasi-subordinasi (pertanyaan yang dikemukakan melalui kontrol militer kolonial dan subordinasi terstruktur terhadap kelompok rasial); dan hibriditas-kreolisasi (mengacu pada fakta bahwa kebudayaan dan bahasa penjajah atau bangsa terjajah tak dapat disajikan secara ’murni’, mereka memunculkan bentuk-bentuk hibriditas).
Cultural studies tidak membahas pada persoalan-persoalan metode dan metodologi penelitian. Di sini dibahas pendekatan filosofis yang melandasi cultural studies, yaitu metodologi, sebagai pokok bahasan yang sepenuhnya berbeda.
Terdapat perdebatan seputar epistemologi, yaitu pertanyaan tentang status pengetahuan dan kebenaran. Pemahaman pengetahuan ’pascamodern’ mendominasi cultural studies namun masih dipertanyakan, basis yang lebih pasti bagi pengetahuan diperlukan untuk kelangsungan proyek politis cultural studies. Sedangkan pada metode yang digunakan, cultural studies lebih memilih metode kualitatif dengan fokus makna kultural. Karya-karya dalam cultural studies terpusat pada tiga macam pendekatan: etnografi; beberapa macam pendekatan tekstual; dan beberapa studi resepsi (reception studies), yang akar teoretisnya bersifat ekletis.
Cultural studies etnografis terpusat pada eksplorasi kualitatif atas nilai dan makna dalam konteks ’cara hidup secara keseluruhan’, yaitu dengan masalah-masalah kebudayaan, dunia-kehidupan dan identitas, etnografi sering kali dikaitkan dengan pendekatan kulturalis dan lebih menekankan ’pengalaman nyata’. Dalam cultural studies ada tiga cara analisis yang cukup terkemuka (tekstual), yaitu semiotika, teori narasi dan dekonstruksi. Semiotika mengeksplorasi bagaimana makna yang terbentuk oleh teks diperoleh melalui penataan tanda dengan cara tertentu dan melalui penggunaan kode-kode kultural. Narasi merupakan bentuk terstruktur di mana kisah membuat penjelasan tentang bagaimana dunia ini. Narasi sebagai rekaman peristiwa, menawarkan kerangka pemahaman dan aturan acuan tentang bagaimana tatanan sosial dikonstruksi. Genre menstrukturkan proses narasi dan mengisinya; mengaturnya dengan menggunakan elemen-elemen dan kombinasi spesifik elemen tersebut untuk menghasilkan koherensi dan kredibilitas. Genre merepresentasikan sistematisasi dan pengulangan masalah dan penyelesaiannya dalam narasi (Neale, 1980). Dekonstruksionisme dihubungkan dengan ’penghapusan’ yang dilakukan Derrida terhadap oposisi biner. Mendekonstruksi berarti menelanjangi, menghapus teks dalam rangka menemukan dan menampilkan asumsi teks tersebut. Dekonstruksi melibatkan pengungkapan oposisi konseptual hierarkis yang menjamin kebenaran dengan menyingkirkan dan mendevaluasi bagian ’inferior dari oposisi biner tersebut. Derrida mengajukan konsep under erasure untuk mendestabilisasikan hal-hal yang sudah mapan, untuk menandainya sebagai hal yang berguna, perlu, tidak tepat sekaligus keliru. Derrida berusaha memperlihatkan ketidakmenentuan makna.
Para perintis studi resepsi menyatakan bahwa apa pun yang dilakukan analisis makna tekstual sebagai sebagai kritik masih jauh dari kepastian tentang makna yang teridentifikasi yang akan diaktifkan oleh pembaca/ audien/ konsumen. Karena audien merupakan pencipta aktif makna dalam kaitannya dengan teks. Karya-karya dalam tradisi hermeneutika dan studi resepsi literer menyatakan bahwa pemahaman selalu berasal dari posisi dan sudut pandang orang yang paham, yang tidak hanya melibatkan reproduksi makna tekstual namun juga produksi makna oleh pembacanya. Teori menempati posisi tinggi dalam cultural studies. Teori dapat dipahami sebagai narasi yang berusaha membedakan dan menjelaskan ciri-ciri umum yang mendefinisikan dan menjelaskan terus-menerus kejadian yang dipersepsikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar