Teknologi diciptakan manusia untuk memudahkan segala aktivitas manusia, sehingga hampir seluruh aspek kehidupan manusia menggunakan teknologi dan komputerisasi. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa di era yang membutuhkan informasi serba cepat, teknologi memang sangat diperlukan dan bermanfaat bagi manusia. Dalam kehidupan sehari-hari, telah diciptakan berbagai alat rumah tangga yang dirancang sedemikian rupa untuk mempermudah penggunaannya dan semakin canggih dengan pengendalian komputer. Dengan teknologi berbagai aktivitas dapat berjalan lebih cepat, efektif dan efisien, sehingga tidak heran jika manusia di zaman ini merasa sangat membutuhkan teknologi.
Telah banyak teknologi yang dipergunakan oleh manusia pada aktivitas sehari-harinya, baik dari handphone yang semakin bervariasi dan internet yang mempermudah menemukan informasi dengan berbagai fasilitas yang disediakannya. Namun teknologi yang sangat melekat pada masyarakat adalah televisi. Setelah televisi muncul sebagai inovasi baru teknologi yang dapat memberikan informasi melalui suara dan gambar dari berbagai wilayah, bahkan dari luar negeri, keberadaan radio sebagai teknologi sumber informasi sedikit terabaikan. Walaupun saat ini ada internet yang dapat memberikan sumber informasi lebih lengkap dan cepat, namun keberadaan televisi masih belum dapat dilepaskan dari kehidupan masyarakat, termasuk di Indonesia. Televisi kini tidak lagi menjadi barang tersier atau barang mewah bagi masyarakat, bahkan telah menjadi barang premier atau paling tidak sekunder bagi hampir seluruh lapisan masyarakat, bagi masyarakat pedesaan sekalipun. Televisi kini muncul dengan berbagai macam merk dan harga yang sangat mudah dijangkau semua kalangan, sehingga tidak heran hampir semua rumah tangga memiliki minimal satu televisi dirumahnya. Hal ini membuat televisi semakin tidak bisa terlepas dari kehidupan masyarakat. Tidak hanya dari merk dan harga, tetapi televisi semakin diperlengkap dengan berbagai fasilitas dan bentuk yang semakin efisien. Sebagai contoh, munculnya TV Flat atau LCD TV yang menawarkan bentuk televisi yang lebih kecil dan ramping, atau adanya TV kabel dengan berbagai nama yang semakin memperbanyak pilihan saluran dan acara yang dapat dinikmati melalui televisi, bahkan saat ini PT Telkom telah mengembangkan televisi berbasis internet protocol (IPTV) yang akan menambah fasilitas televisi yang dapat dinikmati para penonton televisi di Indonesia.
Perkembangan tersebut membuat televisi yang dipakai sebelumnya menjadi suatu barang yang kuno dan harus diganti menjadi televisi yang terbaru dengan berbagai fasilitasnya yang lebih canggih. Siklus ini terus berlanjut selama televisi yang lebih canggih dan modern terus dimunculkan dan mengalahkan televisi sebelumnya. Hal ini membuat masyarakat tidak menyadari atau tidak perduli akan dampak yang ditimbulkan televisi, baik karena acara televisi atau keberadaan televisi itu sendiri. Teknologi sebenarnya telah membuat segalanya menjadi serba instan, sehingga pola interaksi masyarakat tereduksi, pola berpikir dan kreativitas manusia berubah dan tidak berkembang. Namun masyarakat terlalu repot untuk mengikuti siklus perkembangan teknologi atau televisi yang sangat cepat berganti-ganti, karena mereka merasa bahwa jika terlewatkan dan ketinggalan, mereka tidak akan dianggap sebagai manusia modern. Hal ini menunjukkan bahwa teknologi telah mengatur dan mendominasi manusia dengan sistem yang dihasilkannya.
Manusia tidak menyadari bahwa teknologi yang berbentuk televisi itu telah mengasingkan manusia, dengan cara memperdaya manusia dan dunia untuk memercayai realitas ciptaannya sebagai suatu realitas nyata, dan hasil sistem teknologi diklaim sebagai suatu kebenaran. Televisi menciptakan suatu realitas semu yang disebut Baudrillard sebagai hyper-reality (1988: 166). Konsep ini menjelaskan tentang kondisi realitas budaya yang virtual ataupun artifisial di dalam era komunikasi massa dan konsumsi massa. Realitas-realitas tersebut mengungkung “kita” dengan berbagai bentuk simulasi (penggambaran dengan peniruan) yang mencitrakan sebuah realitas, yang pada hakikatnya tidak senyata realitas yang sesungguhnya. Realitas yang “tidak sesungguhnya” tetapi dicitrakan sebagai realitas yang mendeterminasi kesadaran “kita” itulah yang disebut dengan realitas semu (hyper-reality). Realitas ini dikonstruk dan ditampilkan dengan simulators melalui media-media, antara lain muncul dalam bentuk iklan, film, cybernetics, kuis, sinetron dan lain-lain yang tampil dalam televisi. Berkembangnya teknologi informasi seperti sekarang ini, yang diklaim sebagai wujud nyata dari modernitas, telah memposisikan realitas-realitas menjadi sebatas imajinasi yang dihasilkan oleh proses simulasi. Media, telah menciptakan makna yang dipublikasikan sebagai sesuatu yang terputus dari asal-usulnya, maka inilah yang Baudrillard sebut sebagai hyper-reality, yakni penciptaan model-model nyata yang tanpa asal-usul (realitas).
Baudrillard melihat perkembangan kehidupan modern itu telah menjebak kesadaran manusia dalam “kesadaran masyarakat konsumen”, yang di dalamnya perilaku manusia modern telah terdeterminasi oleh kemewahan produk-produk kapitalisme. Lebih lanjut Baudrillard (1988: 17) menjelaskan dorongan psikologis akan pentingnya konsumsi dalam sistem ekonomi kapitalis yang menghubungkan produksi dan konsumsi, individu merupakan efek langsung dari proses relasi produsen-konsumen, sehingga kesadaran individu konsumen terdeterminasi secara ekonomis oleh sang produsen. Sementara individu merupakan “pemenuh” kebutuhan belaka dari sistem produksi di bawah bayang-bayang ilusi (mimpi), dia telah terjebak pada “jerat” imajinasi modernisme yang terpresentasikan dalam kapitalisme yang menuntun konsumen pada kesadaran bahwa dia telah puas dengan cukup terpenuhi kebutuhan individunya tanpa melihat secara kritis “mengapa harus bersikap begitu”. Dalam kultur yang berada dalam ”jerat” imajinasi modernisme ini, imajinasi out of date dan kuno merupakan hal yang menakutkan, karena jika tidak bisa mengejar “kemajuan dan progresifitas” maka disebut tidak modern. Kesadaran inilah yang disebut Baudrillard sebagai exclusive of pleasure, yakni prakondisi psikologis yang mendorong untuk berbuat mengikuti trend-trend modernitas supaya mendapat predikat trendy.
Dari situ tampak bahwa televisi telah memperdaya manusia untuk masuk dalam realitas semunya yang kemudian membuat manusia menjadi konsumtif terhadap produk-produk kapitalis tanpa mengetahui fungsinya mengonsumsi barang tersebut. Inilah yang dimaksud pada kritik Marcuse dalam Habermas (1990:45), apa yang dinamakan Weber “rasionalisasi” merupakan suatu bentuk penyamaran terhadap kekuasaan-kekuasaan dan kepentingan-kepentingan politik yang ada di balik rasionalitas tersebut. Weber menyebutkan bahwa penciptaan teknologi merupakan tindakan rasionalitas-bertujuan, yang mana kemajuan ilmu dan teknik diciptakan untuk me-rasional-kan dan menjadikan modern masyarakat. Pada kenyataannya sistem kapitalis memberikan legitimasi dominasi ilmu dan teknologi demi tujuan dan kepentingan kelas-kelas tertentu. Dengan ilmu dan teknologi, kapitalis dapat menguasai manusia sebagai kekuatan produksi, maka kesadaran teknokratik (technocratic conciousness) menjadi ideologi, sikap hidup, dan cara berpikir baginya. Yang terjadi, manusia diarahkan dan diatur oleh dominasi ilmu dan teknologi yang diciptakaannya sendiri. Seperti dengan adanya televisi, para kapitalis dapat dengan mudah membuat para penontonnya untuk membeli suatu produk tertentu atau dengan cara membuat masyarakat terus mengikuti perkembangan televisi itu sendiri yang semakin canggih, sehingga para kapitalis akan dapat terus meraup keuntungan. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan praktik dari teknologi (technology practice) tidak bebas nilai, walaupun awalnya teknologi hanya berupa kumpulan elemen yang bebas nilai, namun karena kepentingan dan kekuasaan telah masuk ke dalam teknik itu sendiri sehingga teknik dapat menggambarkan kepentingan yang menguasainya dan tujuan yang ingin dicapainya.
Teknologi diciptakan dengan tujuan sebagai bentuk rasionalitas dunia, dalam perkembangan menuju modern. Manusia berharap menjadi rasional dengan adanya teknologi. Seperti adanya televisi yang menjadi sumber informasi dari seluruh dunia dan dapat memudahkan proses globalisasi, sehingga masyarakat merasa perlu mengikuti semua yang ditayangkan di televisi agar dapat disebut modern. Namun, teknologi justru membuat manusia semakin tidak rasional, Vattimo (Driyarkara: 2005) mengkritik teknologi sebagai reduksi metafisika paling ekstrim atas rasionalitas manusia. Yang terjadi saat ini, manusia yang mengikuti sistem dan pergerakan siklus perkembangan teknologi, dan mereka menganggap hal itu sebagai sesuatu yang modern dan rasional. Manusia semakin lupa akan eksistensi dirinya karena teknologi telah menciptakan realitas yang dianggap nyata.
Sehingga untuk menjawab pertanyaan apakah televisi sebagai sumber informasi yang rasional atau irrasional? Maka teknologi yang berupa televisi ini sebaiknya dikembalikan pada esensinya, hanya sebagai sarana bagi manusia bukan sebagai pengendali manusia dengan sistem yang dihasilkannya. Habermas (1990: 59-60) mengusulkan tindakan komunikatif sebagai sebuah usaha modernisasi yang bisa dilakukan dengan interaksi melalui perantara simbol, tidak selalu dengan kegiatan ekonomi atau ‘kerja’. Dengan tindakan rasional komunikatif, masyarakat dapat saling memahami apa yang benar-benar dibutuhkannya, kemudian menjadi modern bersama-sama (rasional dari bawah). Dengan begitu masyarakat dapat meminimalisir dampak teknologi tanpa harus menjadi antiteknologi, dan televisi dapat menjadi alat yang rasional.
KESIMPULAN
Penciptaan ilmu dan teknologi diatasnamakan sebagai bentuk rasionalisasi dan modernisasi, namun dibalik ilmu dan teknologi yang menguasai manusia tersebut terdapat kekuasaan dan kepentingan (Marcuse dalam Habermas, 1990). Seperti terciptanya televisi sebagai sumber informasi dan alat globalisasi, yang ternyata dibalik itu semua terdapat kepentingan dan kekuasaan dibelakangnya. Televisi menjadi alat dominasi masyarakat oleh para kapitalis. Masyarakat disuguhkan realitas semu, sehingga dengan mudah dapat diatur agar membeli produk tertentu untuk memberikan keuntungan pada para kapitalis dan manusia lupa akan eksistensinya. Habermas memberikan solusi dengan cara meletakkan dominasi ilmu dan teknik pada tindakan komunikatif, sehingga keduanya dapat kembali pada tujuan praksis hidup manusia. Hanya sebagai fasilitas dan alat bantu, bukan yang menguasai, dan manusia harus tetap memegang kendali. Karena segala bentuk ilmu dan teknologi akan menjadi irasional jika hanya sampai pada tujuan rasional tanpa dikaitkan dengan tindakan komunikatif.
Telah banyak teknologi yang dipergunakan oleh manusia pada aktivitas sehari-harinya, baik dari handphone yang semakin bervariasi dan internet yang mempermudah menemukan informasi dengan berbagai fasilitas yang disediakannya. Namun teknologi yang sangat melekat pada masyarakat adalah televisi. Setelah televisi muncul sebagai inovasi baru teknologi yang dapat memberikan informasi melalui suara dan gambar dari berbagai wilayah, bahkan dari luar negeri, keberadaan radio sebagai teknologi sumber informasi sedikit terabaikan. Walaupun saat ini ada internet yang dapat memberikan sumber informasi lebih lengkap dan cepat, namun keberadaan televisi masih belum dapat dilepaskan dari kehidupan masyarakat, termasuk di Indonesia. Televisi kini tidak lagi menjadi barang tersier atau barang mewah bagi masyarakat, bahkan telah menjadi barang premier atau paling tidak sekunder bagi hampir seluruh lapisan masyarakat, bagi masyarakat pedesaan sekalipun. Televisi kini muncul dengan berbagai macam merk dan harga yang sangat mudah dijangkau semua kalangan, sehingga tidak heran hampir semua rumah tangga memiliki minimal satu televisi dirumahnya. Hal ini membuat televisi semakin tidak bisa terlepas dari kehidupan masyarakat. Tidak hanya dari merk dan harga, tetapi televisi semakin diperlengkap dengan berbagai fasilitas dan bentuk yang semakin efisien. Sebagai contoh, munculnya TV Flat atau LCD TV yang menawarkan bentuk televisi yang lebih kecil dan ramping, atau adanya TV kabel dengan berbagai nama yang semakin memperbanyak pilihan saluran dan acara yang dapat dinikmati melalui televisi, bahkan saat ini PT Telkom telah mengembangkan televisi berbasis internet protocol (IPTV) yang akan menambah fasilitas televisi yang dapat dinikmati para penonton televisi di Indonesia.
Perkembangan tersebut membuat televisi yang dipakai sebelumnya menjadi suatu barang yang kuno dan harus diganti menjadi televisi yang terbaru dengan berbagai fasilitasnya yang lebih canggih. Siklus ini terus berlanjut selama televisi yang lebih canggih dan modern terus dimunculkan dan mengalahkan televisi sebelumnya. Hal ini membuat masyarakat tidak menyadari atau tidak perduli akan dampak yang ditimbulkan televisi, baik karena acara televisi atau keberadaan televisi itu sendiri. Teknologi sebenarnya telah membuat segalanya menjadi serba instan, sehingga pola interaksi masyarakat tereduksi, pola berpikir dan kreativitas manusia berubah dan tidak berkembang. Namun masyarakat terlalu repot untuk mengikuti siklus perkembangan teknologi atau televisi yang sangat cepat berganti-ganti, karena mereka merasa bahwa jika terlewatkan dan ketinggalan, mereka tidak akan dianggap sebagai manusia modern. Hal ini menunjukkan bahwa teknologi telah mengatur dan mendominasi manusia dengan sistem yang dihasilkannya.
Manusia tidak menyadari bahwa teknologi yang berbentuk televisi itu telah mengasingkan manusia, dengan cara memperdaya manusia dan dunia untuk memercayai realitas ciptaannya sebagai suatu realitas nyata, dan hasil sistem teknologi diklaim sebagai suatu kebenaran. Televisi menciptakan suatu realitas semu yang disebut Baudrillard sebagai hyper-reality (1988: 166). Konsep ini menjelaskan tentang kondisi realitas budaya yang virtual ataupun artifisial di dalam era komunikasi massa dan konsumsi massa. Realitas-realitas tersebut mengungkung “kita” dengan berbagai bentuk simulasi (penggambaran dengan peniruan) yang mencitrakan sebuah realitas, yang pada hakikatnya tidak senyata realitas yang sesungguhnya. Realitas yang “tidak sesungguhnya” tetapi dicitrakan sebagai realitas yang mendeterminasi kesadaran “kita” itulah yang disebut dengan realitas semu (hyper-reality). Realitas ini dikonstruk dan ditampilkan dengan simulators melalui media-media, antara lain muncul dalam bentuk iklan, film, cybernetics, kuis, sinetron dan lain-lain yang tampil dalam televisi. Berkembangnya teknologi informasi seperti sekarang ini, yang diklaim sebagai wujud nyata dari modernitas, telah memposisikan realitas-realitas menjadi sebatas imajinasi yang dihasilkan oleh proses simulasi. Media, telah menciptakan makna yang dipublikasikan sebagai sesuatu yang terputus dari asal-usulnya, maka inilah yang Baudrillard sebut sebagai hyper-reality, yakni penciptaan model-model nyata yang tanpa asal-usul (realitas).
Baudrillard melihat perkembangan kehidupan modern itu telah menjebak kesadaran manusia dalam “kesadaran masyarakat konsumen”, yang di dalamnya perilaku manusia modern telah terdeterminasi oleh kemewahan produk-produk kapitalisme. Lebih lanjut Baudrillard (1988: 17) menjelaskan dorongan psikologis akan pentingnya konsumsi dalam sistem ekonomi kapitalis yang menghubungkan produksi dan konsumsi, individu merupakan efek langsung dari proses relasi produsen-konsumen, sehingga kesadaran individu konsumen terdeterminasi secara ekonomis oleh sang produsen. Sementara individu merupakan “pemenuh” kebutuhan belaka dari sistem produksi di bawah bayang-bayang ilusi (mimpi), dia telah terjebak pada “jerat” imajinasi modernisme yang terpresentasikan dalam kapitalisme yang menuntun konsumen pada kesadaran bahwa dia telah puas dengan cukup terpenuhi kebutuhan individunya tanpa melihat secara kritis “mengapa harus bersikap begitu”. Dalam kultur yang berada dalam ”jerat” imajinasi modernisme ini, imajinasi out of date dan kuno merupakan hal yang menakutkan, karena jika tidak bisa mengejar “kemajuan dan progresifitas” maka disebut tidak modern. Kesadaran inilah yang disebut Baudrillard sebagai exclusive of pleasure, yakni prakondisi psikologis yang mendorong untuk berbuat mengikuti trend-trend modernitas supaya mendapat predikat trendy.
Dari situ tampak bahwa televisi telah memperdaya manusia untuk masuk dalam realitas semunya yang kemudian membuat manusia menjadi konsumtif terhadap produk-produk kapitalis tanpa mengetahui fungsinya mengonsumsi barang tersebut. Inilah yang dimaksud pada kritik Marcuse dalam Habermas (1990:45), apa yang dinamakan Weber “rasionalisasi” merupakan suatu bentuk penyamaran terhadap kekuasaan-kekuasaan dan kepentingan-kepentingan politik yang ada di balik rasionalitas tersebut. Weber menyebutkan bahwa penciptaan teknologi merupakan tindakan rasionalitas-bertujuan, yang mana kemajuan ilmu dan teknik diciptakan untuk me-rasional-kan dan menjadikan modern masyarakat. Pada kenyataannya sistem kapitalis memberikan legitimasi dominasi ilmu dan teknologi demi tujuan dan kepentingan kelas-kelas tertentu. Dengan ilmu dan teknologi, kapitalis dapat menguasai manusia sebagai kekuatan produksi, maka kesadaran teknokratik (technocratic conciousness) menjadi ideologi, sikap hidup, dan cara berpikir baginya. Yang terjadi, manusia diarahkan dan diatur oleh dominasi ilmu dan teknologi yang diciptakaannya sendiri. Seperti dengan adanya televisi, para kapitalis dapat dengan mudah membuat para penontonnya untuk membeli suatu produk tertentu atau dengan cara membuat masyarakat terus mengikuti perkembangan televisi itu sendiri yang semakin canggih, sehingga para kapitalis akan dapat terus meraup keuntungan. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan praktik dari teknologi (technology practice) tidak bebas nilai, walaupun awalnya teknologi hanya berupa kumpulan elemen yang bebas nilai, namun karena kepentingan dan kekuasaan telah masuk ke dalam teknik itu sendiri sehingga teknik dapat menggambarkan kepentingan yang menguasainya dan tujuan yang ingin dicapainya.
Teknologi diciptakan dengan tujuan sebagai bentuk rasionalitas dunia, dalam perkembangan menuju modern. Manusia berharap menjadi rasional dengan adanya teknologi. Seperti adanya televisi yang menjadi sumber informasi dari seluruh dunia dan dapat memudahkan proses globalisasi, sehingga masyarakat merasa perlu mengikuti semua yang ditayangkan di televisi agar dapat disebut modern. Namun, teknologi justru membuat manusia semakin tidak rasional, Vattimo (Driyarkara: 2005) mengkritik teknologi sebagai reduksi metafisika paling ekstrim atas rasionalitas manusia. Yang terjadi saat ini, manusia yang mengikuti sistem dan pergerakan siklus perkembangan teknologi, dan mereka menganggap hal itu sebagai sesuatu yang modern dan rasional. Manusia semakin lupa akan eksistensi dirinya karena teknologi telah menciptakan realitas yang dianggap nyata.
Sehingga untuk menjawab pertanyaan apakah televisi sebagai sumber informasi yang rasional atau irrasional? Maka teknologi yang berupa televisi ini sebaiknya dikembalikan pada esensinya, hanya sebagai sarana bagi manusia bukan sebagai pengendali manusia dengan sistem yang dihasilkannya. Habermas (1990: 59-60) mengusulkan tindakan komunikatif sebagai sebuah usaha modernisasi yang bisa dilakukan dengan interaksi melalui perantara simbol, tidak selalu dengan kegiatan ekonomi atau ‘kerja’. Dengan tindakan rasional komunikatif, masyarakat dapat saling memahami apa yang benar-benar dibutuhkannya, kemudian menjadi modern bersama-sama (rasional dari bawah). Dengan begitu masyarakat dapat meminimalisir dampak teknologi tanpa harus menjadi antiteknologi, dan televisi dapat menjadi alat yang rasional.
KESIMPULAN
Penciptaan ilmu dan teknologi diatasnamakan sebagai bentuk rasionalisasi dan modernisasi, namun dibalik ilmu dan teknologi yang menguasai manusia tersebut terdapat kekuasaan dan kepentingan (Marcuse dalam Habermas, 1990). Seperti terciptanya televisi sebagai sumber informasi dan alat globalisasi, yang ternyata dibalik itu semua terdapat kepentingan dan kekuasaan dibelakangnya. Televisi menjadi alat dominasi masyarakat oleh para kapitalis. Masyarakat disuguhkan realitas semu, sehingga dengan mudah dapat diatur agar membeli produk tertentu untuk memberikan keuntungan pada para kapitalis dan manusia lupa akan eksistensinya. Habermas memberikan solusi dengan cara meletakkan dominasi ilmu dan teknik pada tindakan komunikatif, sehingga keduanya dapat kembali pada tujuan praksis hidup manusia. Hanya sebagai fasilitas dan alat bantu, bukan yang menguasai, dan manusia harus tetap memegang kendali. Karena segala bentuk ilmu dan teknologi akan menjadi irasional jika hanya sampai pada tujuan rasional tanpa dikaitkan dengan tindakan komunikatif.
DAFTAR PUSTAKA
Antonius S., Firmansyah. 2002. “Masyarakat Transparan: Harapan dari Postmodernisme (Gianni Vattimo tentang Postmodernisme)” dalam Driyarkara tahun XXV no.3. Jakarta: STF Driyarkara.
Baudrillard, Jean. 1988. “Simulacra and Simulations” dalam Jean Baudrillard, Selected Writings, ed. by Mark Poster. Cambridge: Polity Press.
______________. 1988. “The System of Objects” dalam Jean Baudrillard, Selected Writings, ed. by Mark Poster. Cambridge: Polity Press.
______________. 1988. “Consumer Society” dalam Jean Baudrillard, Selected Writings, ed. by Mark Poster. Cambridge: Polity Press.
Habermas, Jurgen. 1990. Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi. LP3ES: Jakarta.
Artikel dari internet:
Anonymous. 2008, Oktober 20. Forum Telekomunikasi: Telkom Bali Uji Coba Triple Play. Retrieved 20 April 2009. From Suara Karya: http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=211819
Anonymous. 2007, Januari 9. PM TELKOM Perkenalkan Inovasi Televisi Berbasis Internet. Retrieved 20 April 2009. From http://www.ristinet.com/ index.php?ch=7&lang=ind&n=156
Tidak ada komentar:
Posting Komentar