Tuhan menciptakan manusia sebagai mahluk yang paling sempurna, dan berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Dari bentuk fisik, sikap, watak, kebiasaan, atau kepribadiannya semua manusia tidak ada satu pun yang sama persis. Bahkan kembar identik pun pasti memiliki perbedaan walaupun hanya sedikit. Karena itu sangat wajar apabila diri kita memiliki kepribadian yang berbeda dengan orang lain dalam lingkungan kita atau dalam massyarakat pada umumnya. Tetapi permasalahannya disini adalah lingkungan disekitar kita telah mempengaruhi kita dalam membentuk identitas diri kita atau jati diri kita, sehingga kita sulit untuk menemukan jati diri kita yang sebenarnya.
Pertama-tama untuk menjelaskan tindakan manusia atau penampilan diri di hadapan orang lain, kita melihat pada analisa Erving Goffman yang memakai analogi drama dan teater. Berbagai kegiatan serta hasil sukses seseorang ditentukan oleh pilar-pilar stuktural serta struktur yang pasti atau situasi sesaat, maupun aturan-aturan atau norma-norma yang mengatur pertunjukan. Walaupun struktur panggung dan naskah itu tidak pernah jauh berbeda dengan dramaturgi Goffman, sorotan analisanya tertuju pada pertunjukan aktor individual. Dalam drama kehidupan, manusia merupakan aktor-aktor yang mengikuti naskah yang dirancang lingkungan sosial. Sebagian dari mereka mengikuti naskah itu, sedang sebagian lain menentangnya. Tujuan manusia “menggerakkan sistem” ialah untuk menyajikan gambaran self yang lebih sempurna.
Begitu juga dengan psikoanalisis Sigmund Freud, struktur kepribadian dalam diri manusia sebagian ditentukan oleh super ego (alam pertimbangan baik buruk) dan sebagian lain ditentukan oleh id (naluri kelangsungan hidup).
Dari analisa Goffman dan Freud tersebut, dapat disimpulkan bahwa identitas diri manusia yang ditampilkan bukan selalu jati diri yang sebenar-benarnya, karena perumusan diri manusia dibentuk oleh konstruksi sosial dan sistem budaya yang ada di lingkungannya.
Manusia sebagai “diri” sekreatif apa pun, ia tetap harus patuh mengikuti norma dan aturan budaya di lingkungannya. Kita memiliki kelakuan yang merupakan identitas diri kita yang dapat diterima dan ada yang tidak dapat diterima. Bila kita memiliki jati diri yang sedikit berbeda dari norma yang telah ada dan disepakati di lingkungan sekitar, maka kita akan dipandang sebagai orang aneh, nyeleneh, tidak menaati aturan dan norma yang ada, dan konsekuensi yang kita terima adalah digunjingkan, dihina, bahkan dikucilkan.
Karena manusia tidak dapat hidup sendiri dan memiliki id atau naluri untuk terus hidup dan mempertahankan hidupnya, maka kebanyakan manusia tidak akan tahan jika harus menerima konsekuensi tersebut. Sehingga ia berusaha untuk merubah jati dirinya dan berperan sebagai “self” yang memerankan jati diri yang sesuai dengan norma dan aturan yang ada dan menguasai di lingkungannya, walaupun itu berbeda dengan jati dirinya yang sebenarnya. Kemudian “the other” atau “yang-lain” dari diri, kita sembunyikan atau bahkan memposisikannya sebagai lawan yang harus dilenyapkan.
Satu contoh dalam berbusana, sebagai bangsa Indonesia dalam berbusana kita memiliki pakaian nasional berupa kebaya untuk perempuan. Tapi karena pengaruh globalisasi yang mengarah pada westernisasi, masyarakat Indonesia kini lebih memilih untuk berpakaian dengan bahan kaos dan celana jeans, karena mencontoh masyarakat Barat yang berpakaian seperti itu. Ini merupakan contoh penghilangan identitas diri kita sebagai bangsa Indonesia. Kini seorang perempuan bila mengenakan kebaya pada siang bolong tanpa ada acara khusus apapun, maka akan dianggap aneh. Tetapi bila kita benar-benar meniru fashion style orang Barat sepenuhnya, masih banyak orang yang juga menilai orang yang tampil terlalu terbuka sebagai orang yang tampil tidak senonoh dan tidak mencerminkan gaya hidup orang Indonesia sebagai orang Timur yang selalu tampil sopan. Lalu, sebenarnya seperti apa identitas diri kita dalam berbusana?.
Dengan begitu saat ini disadari atau tidak, kebanyakan manusia menampilkan identitas diri yang tidak sebenarnya. Walaupun ada beberapa orang yang tidak memperdulikan pengaruh dari luar, sehingga masih memegang teguh identitas dirinya. Tanpa sadar manusia tidak bisa mempertahankan jati diri mereka karena dipengaruhi oleh budaya dan norma yang mendominasi. Karena itu patut dipertanyakan, apakah identitas diri yang kini kita tampakkan adalah jati diri kita yang sebenarnya?.
Setiap orang akan sulit menemukan jati dirinya, karena lingkungan akan mempengaruhi dan mendominasi. Akhirnya terjadi perang batin, antara memegang teguh identitas diri yang diinginkan tapi dengan konsekuensi dikucilkan oleh masyarakat, atau menyesuaikan identitas diri dengan aturan dan norma yang ada sehingga dapat diterima di lingkungannya. Dan kebanyakan manusia akan memiih berkelakuan baik sesuai dengan aturan dan norma yang ada di lingkungannya, agar diterima oleh lingkungannya, walaupun bertolak belakang dengan identitas diri yang diyakininya. Disinilah manusia mulai kehilangan identitas dirinya.
Dari semua penjelasan tadi dapat disimpulkan bahwa, manusia memiliki identitas diri “yang-lain”, tetapi karena dipengaruhi oleh aturan dan norma di lingkungan sekitar maka manusia akan berperan sebagai “diri” yang sesuai dengan aturan dan norma yang ada tersebut, walaupun peran atau kelakuan yang ditampilkan itu berbeda dengan keinginan dirinya। Dengan sadar atau tidak, identitas diri seseorang telah terkonstruksi dari budaya dan lingkungannya, sehingga manusia tidak bisa terus mempertahankan identitas dirinya.
DAFTAR PUSTAKA
Sutrisno, Mudji & Hendar Putranto (Eds.). 2004. Hermeneutika Pascakolonial. Yogyakarta: Kanisius.
Pertama-tama untuk menjelaskan tindakan manusia atau penampilan diri di hadapan orang lain, kita melihat pada analisa Erving Goffman yang memakai analogi drama dan teater. Berbagai kegiatan serta hasil sukses seseorang ditentukan oleh pilar-pilar stuktural serta struktur yang pasti atau situasi sesaat, maupun aturan-aturan atau norma-norma yang mengatur pertunjukan. Walaupun struktur panggung dan naskah itu tidak pernah jauh berbeda dengan dramaturgi Goffman, sorotan analisanya tertuju pada pertunjukan aktor individual. Dalam drama kehidupan, manusia merupakan aktor-aktor yang mengikuti naskah yang dirancang lingkungan sosial. Sebagian dari mereka mengikuti naskah itu, sedang sebagian lain menentangnya. Tujuan manusia “menggerakkan sistem” ialah untuk menyajikan gambaran self yang lebih sempurna.
Begitu juga dengan psikoanalisis Sigmund Freud, struktur kepribadian dalam diri manusia sebagian ditentukan oleh super ego (alam pertimbangan baik buruk) dan sebagian lain ditentukan oleh id (naluri kelangsungan hidup).
Dari analisa Goffman dan Freud tersebut, dapat disimpulkan bahwa identitas diri manusia yang ditampilkan bukan selalu jati diri yang sebenar-benarnya, karena perumusan diri manusia dibentuk oleh konstruksi sosial dan sistem budaya yang ada di lingkungannya.
Manusia sebagai “diri” sekreatif apa pun, ia tetap harus patuh mengikuti norma dan aturan budaya di lingkungannya. Kita memiliki kelakuan yang merupakan identitas diri kita yang dapat diterima dan ada yang tidak dapat diterima. Bila kita memiliki jati diri yang sedikit berbeda dari norma yang telah ada dan disepakati di lingkungan sekitar, maka kita akan dipandang sebagai orang aneh, nyeleneh, tidak menaati aturan dan norma yang ada, dan konsekuensi yang kita terima adalah digunjingkan, dihina, bahkan dikucilkan.
Karena manusia tidak dapat hidup sendiri dan memiliki id atau naluri untuk terus hidup dan mempertahankan hidupnya, maka kebanyakan manusia tidak akan tahan jika harus menerima konsekuensi tersebut. Sehingga ia berusaha untuk merubah jati dirinya dan berperan sebagai “self” yang memerankan jati diri yang sesuai dengan norma dan aturan yang ada dan menguasai di lingkungannya, walaupun itu berbeda dengan jati dirinya yang sebenarnya. Kemudian “the other” atau “yang-lain” dari diri, kita sembunyikan atau bahkan memposisikannya sebagai lawan yang harus dilenyapkan.
Satu contoh dalam berbusana, sebagai bangsa Indonesia dalam berbusana kita memiliki pakaian nasional berupa kebaya untuk perempuan. Tapi karena pengaruh globalisasi yang mengarah pada westernisasi, masyarakat Indonesia kini lebih memilih untuk berpakaian dengan bahan kaos dan celana jeans, karena mencontoh masyarakat Barat yang berpakaian seperti itu. Ini merupakan contoh penghilangan identitas diri kita sebagai bangsa Indonesia. Kini seorang perempuan bila mengenakan kebaya pada siang bolong tanpa ada acara khusus apapun, maka akan dianggap aneh. Tetapi bila kita benar-benar meniru fashion style orang Barat sepenuhnya, masih banyak orang yang juga menilai orang yang tampil terlalu terbuka sebagai orang yang tampil tidak senonoh dan tidak mencerminkan gaya hidup orang Indonesia sebagai orang Timur yang selalu tampil sopan. Lalu, sebenarnya seperti apa identitas diri kita dalam berbusana?.
Dengan begitu saat ini disadari atau tidak, kebanyakan manusia menampilkan identitas diri yang tidak sebenarnya. Walaupun ada beberapa orang yang tidak memperdulikan pengaruh dari luar, sehingga masih memegang teguh identitas dirinya. Tanpa sadar manusia tidak bisa mempertahankan jati diri mereka karena dipengaruhi oleh budaya dan norma yang mendominasi. Karena itu patut dipertanyakan, apakah identitas diri yang kini kita tampakkan adalah jati diri kita yang sebenarnya?.
Setiap orang akan sulit menemukan jati dirinya, karena lingkungan akan mempengaruhi dan mendominasi. Akhirnya terjadi perang batin, antara memegang teguh identitas diri yang diinginkan tapi dengan konsekuensi dikucilkan oleh masyarakat, atau menyesuaikan identitas diri dengan aturan dan norma yang ada sehingga dapat diterima di lingkungannya. Dan kebanyakan manusia akan memiih berkelakuan baik sesuai dengan aturan dan norma yang ada di lingkungannya, agar diterima oleh lingkungannya, walaupun bertolak belakang dengan identitas diri yang diyakininya. Disinilah manusia mulai kehilangan identitas dirinya.
Dari semua penjelasan tadi dapat disimpulkan bahwa, manusia memiliki identitas diri “yang-lain”, tetapi karena dipengaruhi oleh aturan dan norma di lingkungan sekitar maka manusia akan berperan sebagai “diri” yang sesuai dengan aturan dan norma yang ada tersebut, walaupun peran atau kelakuan yang ditampilkan itu berbeda dengan keinginan dirinya। Dengan sadar atau tidak, identitas diri seseorang telah terkonstruksi dari budaya dan lingkungannya, sehingga manusia tidak bisa terus mempertahankan identitas dirinya.
DAFTAR PUSTAKA
Sutrisno, Mudji & Hendar Putranto (Eds.). 2004. Hermeneutika Pascakolonial. Yogyakarta: Kanisius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar