Senin, 18 Januari 2010

Ilmu Sosial Indonesia Dalam Wacana Methodenstreit


Fase perkembangan ilmu sosial di Indonesia terdiri dari, fase embrionik, fase ilmu sosial developmentalis, dan fase kontemporer.

Fase Embrionik
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wtenschappen (1778), yaitu semacam asosiasi seni dan ilmu pengetahuan tertua, yang dirujuk sebagai cikal bakal sejarah ilmu pengetahuan di Hindia-Belanda (Indonesia) dikonstruksikan dan disebarluaskan. Pada tahun 1842, pemerintah kolonial memperkenalkan indologie, yaitu suatu bagian dari ilmu Oriental yang dikembangkan untuk tujuan menyiapkan bekal pengetahuan tentang masyarakat negeri jajahan bagi calon administrator yang akan bertugas di Hindia-Belanda. Paradigma indologie ialah ilmu social sebagai ‘ilmu negara’. Ilmuwan sosial ‘mengabdikan’ diri untuk kepentingan kekuasaan atau menjadi pejabat pemerintah kolonial. Indologie sebagai studi kolonial memiliki afinitas politik untuk merekayasa dan menciptakan formula politik pasifikasi. Dengan mengetahui keunikan, watak dan perilaku suku bangsa di kepulauan Nusantara melalui kajian indolog, penguasa kolonial dapat menyusun kebijakan yang lebih efektif.

Fase Ilmu Sosial Developmentalis
Pasca PD II, pada tahun 1950-1960-an, putusnya hubungan antara negeri induk (Belanda) dan koloninya (Indonesia) membuat Indonesia tidak lagi menjadi daerah penelitian sarjana Belanda. Kemudian AS tampil sebagai Negara adidaya ekonomi dunia berhadapan dengan saingannya yaitu Uni Soviet (sekarang Rusia). “Perang dingin” antara poros kapitalis (blok Barat) dibawah kepemimpinan AS, dan poros komunis (blok Timur) dibawah Uni Soviet, membuat AS menggunakan akses pengetahuan untuk memenangkan pengaruh global. Studi kawasan (area studies) merupakan inovasi akademis yang memiliki kepentingan ideologi untuk membangun kolaborasi dengan negara-negara yang baru merdeka melalui kerja sama akademik.Studi kawasan ini mengelompokkan suatu kawasan yang zona geografis dan kawasan studi-nya memiliki koherensi budaya, sejarah dan bahasa.
Salah satu program kerja sama dari Negara adidaya adalah suatu kelompok kerja proyek penelitian MIT (Massachussets Institute of Technology), dimana proyek ini menghasilkan disertasi doktor (Ph. D), yang kemudian menjadi rujukan yang penting dalam studi ilmu-ilmu sosial di Indonesia. Dengan demikian, ilmu sosial di Indonesia bergeser dari indologie yang lebih berorientasi Eurosentrisme, menjadi ilmu sosial yang berkiblat ke Amerika Serikat (AS). Ilmu sosial developmentalis berhubungan dengan kebijakan (praktik) politik, khususnya dalam rangka proses-proses modernisasi di negara-negara sedang berkembang, dengan menggunakan pendekatan budaya dan metode komparatif.

Fase Ilmu Sosial Indonesia Kontemporer
Walaupun menggunakan istilah kontemporer yang dapat dipahami sebagai kelanjutan dari perkembangan sebelumnya, namun beberapa ciri pokok ilmu sosial di Indonesia masih tetap ada dan bertahan sampai sekarang.Sejak tahun 1971, banyak program peningkatan mutu pengajaran dan penelitian ilmu sosial telah dilakukan. Perkembangan ilmu sosial di Indonesia ditandai dengan internasionalisasi studi Indonesia, dan pengikisan pengaruh indologie yang telah berlangsung sebelumnya, juga merupakan monopoli sarjana Belanda. Selain itu, diskusi-diskusi tentang ilmu sosial ditandai dengan rangkaian debat tentang mutu ilmu sosial di Indonesia dan relevansinya dengan pembangunan. Diskusi dan pembahasan tersebut cenderung mempersoalkan sebab kemacetan ilmu sosial dari segi teknis dan rintangan struktural yang bersumber dari kebijakan pemerintah, sehingga diskusi kritis dibidang teori-metodologi hampir tidak pernah terjadi. Argumen yang kemudian muncul cukup beragam, dimana produk penelitian ilmu sosial untuk tujuan pembangunan tidak secara aktif digunakan dalam proses pembuatan kebijakan. Hal ini membuat komunitas ilmu sosial berada pada kedudukan yang lemah karena menjadi subordinasi dari rezim otoriter yang berkuasa.
Ditambah dengan saling mengabaikan atau bahkan saling melecehkannya antardisiplin ilmu yang berbeda-beda, termasuk di dalam disiplin-disiplin ilmu sosial sendiri, menjadi awal ketimpangan ilmu sosial di Indonesia. Kemudian yang muncul adalah ketidakjelasan dalam menyiasati perkembangan ilmu sosial. Di satu pihak, ilmu sosial dianggap penting peranannya dalam memecahkan masalah-masalah pembangunan, tetapi di lain pihak ilmu sosial dianggap sebagian unsur yang “mengganggu” karena dicap mempersulit perencanaan ekonomi.

Beberapa persoalan yang diderita ilmu sosial di Indonesia, antara lain dikarenakan kerisauan terhadap rendahnya mutu ilmu sosial di Indonesia membuat masyarakat sering memandang rendah kedudukan ilmu sosial. “Krisis berkepanjangan” dalam tubuh ilmu sosial Indonesia masih berlangsung sampai saat ini. Sejumlah ahli mengkritik kebanyakan penelitian social yang menggunakan metodologi yang bersifat logis-deduktif, karena ketidaksesuaian antara asumsi (hipotesis) dengan kenyataannya akan menjadi ketidaktepatan dalam penerapan konsep. Maka kemudian muncul penelitian kualitatif atau yang disebut riset aksi partisipatoris sebagai tandingan model riset kuantitatif-positivistik. Selain itu, Ilmu pengetahuan yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan, serta pendidikan itu sendiri, sangat Barat sentrisme dan lembaga pendidikan hanya sebagai sarana reproduksi pengetahuan, system dan struktur sosial setempat. Pendidikan seharusnya dapat menciptakan kemungkinan untuk memproduksi pengetahuan.

Methodenstreit sebagai “Engine” Perkembangan Ilmu Sosial

Perkembangan ilmu sosial di Eropa, terutama di Jerman dan Prancis dilatarbelakangi dengan penolakan terhadap Abad Pencerahan abad ke-18, yang menafikan kebenaran dogmatik Kristen lama. Zeitgeist yang mewarnai zaman ini adalah gagasan tentang ‘kemajuan’ (progress) dan ‘kebebasan’ (freedom) dengan wahana ilmu pengetahuan alam sebagai motor penggeraknya. Kemudian positivisme mengklaim hanya ada satu ilmu (science), yaitu ilmu alam. Pada gilirannya banyak kelompok disiplin yang mulai melakukan pembaruan metodologis dengan mengikuti model ilmu alam, yang nantinya menjadi cikal bakal ilmu sosial.
Wilhem Dilthey, salah satu dari kelompok idealis atau humanis, mengkritik pendirian metodologis positivisme. Ia berpandangan bahwa tindakan manusia harus dimengerti bukan hanya dinalar, karena di samping memiliki dimensi fisik, individu juga memiliki dimensi moral yang hanya mungkin ditangkap dengan metode verstehen (pengertian). Pada abad ke-20 wacana methodenstreit diramaikan oleh kelompok filosof dari Frankfurt School, kubu anti-positivisme yang mengembangkan suatu ilmu sosial kritis. Salah satu ciri utama teori kritis adalah bahwa apa yang diperlakukan sebagai ‘kebenaran’ seharusnya ditentukan oleh cara-cara khusus di mana teori ilmiah harus berkaitan dengan tindakan praktis. Kritik ilmu sosial kritis terhadap ilmu sosial positivistik ialah wataknya yang ahistoris, karena proses-proses dan tindakan manusia tidak dapat dipaksakan menurut hukum-hukum universal model ilmu alam. Karena fenomena sosial secara historis dikondisikan oleh pengalaman-pengalaman sezaman dan secara kultural ditentukan oleh nilai-nilai dominan yang dianut, yang mana kemudian konsepsi ini menjadi dasar ilmu sosial.
Masalah ilmu sosial sekarang adalah bahwa sebagian besar wacana ilmu sosial sudah terlalu eurosentrisme, karena peradaban Barat yang konvensional dan hegemonik tidak mengakui adanya berbagai ilmu lain yang berasal dari peradaban dan budaya lain yang berbeda-beda. Ilmu modern Barat dianggap sebagai warisan orisinil peradaban dunia “maju” yang harus diadopsi oleh dunia non-Barat, walaupun sebenarnya peradaban di luar Barat tersebut dapat menghasilkan jenis-jenis ilmu yang berbeda dengan paradigma masing-masing. Hal ini juga menjadi permasalahan bagi perkembangan ilmu sosial di Indonesia, dimana ilmu sosial di Indonesia menjadi ahistoris. Dikarenakan pengabaian kekhususan historis-kultural dan kawasan geografi dalam menerapkan teori-teori dan metodologi Barat. Ilmu sosial harus dapat menerangkan realitas yang terjadi dalam masyarakat dan menawarkan alternatif pemecahan berdasarkan asumsi-asumsi keilmuannya sambil memperbarui dirinya sendiri hingga tetap menjadi ‘ilmu normal’. Masalah utama ilmu sosial adalah bagaimana ilmu sosial sekarang dikaitkan dengan ketidakpastian pada dirinya dan dalam dunia realitas yang mengitarinya serta risiko-risikonya. Kondisi keilmuan dari ilmu sosial di Indonesia masih memerlukan pemikiran lebih lanjut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengalaman Melahirkan Anak Kedua dengan Metode ERACS

 Beberapa hari sebelum lahiran, ada video viral seorang artis yang mengaku 2 jam setelah melahirkan secara C-section sudah bisa duduk, 4 jam...